Monday, August 18, 2008

Senioritas = kri-TIKUS??

Yang Muda Dipandang Sebelah Mata.
Pastinya tau donk, iklan rokok yang terkenal itu.. Rokok dengan iklan2 yang paling menyentil realita2 yang terjadi di Indonesia. Menjadi Slogan yang cukup popular banget dikalangan anak muda sekarang, baik di tempat kuliah ataupun kerja.

Kalo saya lebih melihatnya sebagai Syndrome Senioritas.
Sistim senioritas..
Senior yang harus dihormati…
Senior lebih banyak pengalaman, sehingga masukan kritik ataupun saran dari senior menjadi “sangat penting”…

Sistim yang sudah puluhan tahun berjalan..
Sistim yang sudah mendarah daging di urat2 manusia…
Tapi sistim yang “bisa” menghambat perkembangan anak muda..

Menjadi volunteer dari suatu lembaga lesbian muda…
Ternyata sangat memberikan pelajaran2 yang tentang Syndrome Senioritas ini..

Senior yang dengan bangganya dengan pengalamannya.
Yang diharapkan bisa mengulurkan bantuan dan menjadi support..
Tetapi hanya ada ratusan alasan ketika support dan bantuannya saran diperlukan.
Dan dalam seketika akan menjadi Kritikus handal untuk semua kegiatan.

Dalam 2 tahun selama saya menjadi seorang volunteer pada lembaga lesbian muda tersebut.
Banyak sekali kegiatan social work yang telah diselengarakan…
Semua ditujukan untuk menjadi wadah para lesbian muda, untuk bisa berkembang dan menjadi lesbian yg OK.

Dan ketika social work tersebut menjadi buah bibir….
Ribuan Kritikus Handal bersemangat untuk menjadi bagian karya social work tersebut. Memberikan cibiran-cibiran.. mestinya begini..mestinya begitu.. bagaikan dihujani dengan tetesan air liur berisi jarum beracun...

Seperti yang dituturkan dari seorang Senior Lesbian yang juga bekerja sebagai editor di salah satu penerbit buku pada bedah buku Pelangi Perempuan di Galeri Cemara.
“Belajar donk dari yang tua/dewasa... jadi nga keluar produk yang mentah.
Dari jaman 20 tahun dulu.... sepertinya persoalan jalan di tempat, masih berputar2 persoalan yg sama... angkat tema yg itu itu aja. Emang org berpikir masalah lu itu penting apa?! Mang org lain gak punya masalah??”

Senior tersebut juga berkata bahwa Buku Pelangi Perempuan adalah suatu kesia-siaan dengan menghabiskan budget dari lembaga donor…
Walaupun saya bukan penulis sastra dan juga bukan kritikus…
Saya juga bisa melihat bahwa buku Pelangi Perempuan sangat jauh dari nilai kesempurnaan dari buku-buku yang biasa dijual dipublik.

Tetapi buat saya…
Buku tersebut bernilai lebih uang yang telah dikeluarkan atau harga jual Rp. 30 ribu..
Karya-karya lesbian muda yang dipilih dengan oleh Cok Sawitri sebagai editor..
Terpilih dari ratusan karya lain yg mengambarkan kekelaman, kesedihan, dll dsb..
Dipilih karena dirasakan dapat dikembangkan untuk menjadi penulis yang handal.
Dan dengan kemenangan yang diberikan...
adanya secercah harapan buat para penulis lesbian muda lainnya untuk bisa berkarya lebih baik.
Saya lebih melihat seperti pada film “Freedom Writer”


Yang menjadi Pertanyaan di benak saya….
Apakah senior tersebut merasa dirinya benar dan hebat? Dengan memberikan statement tersebut apakah tidak pernah terpikir akan memusnakan niat penulisan dari lesbian muda?

Dan di usia yang sama dengan menjadi lesbian muda.. apakah senior tersebut dulu pernah berbuat hal yang sama?

Buat saya…
Kritik yang membangun adalah kritik yang disertai dengan saran-saran ke depan..
Bukan kritik yang menghempaskan harapan-harapan para penulis muda dalam berkarya..
Bukan kah begitu?

Dan buat saya..
Mau dianggap senior yang Ok?
Tidak perlu undangan untuk mengisi kegiatan-kegiatan social work yang kami lakukan..
Tetapi langsung mengulurkan bantuan dan supportnya dengan ratusan bahkan ribuan saran yang positive.

Bukan saling menjatuhkan junior-juniornya…bahkan seorang Ayu Utami pun sempat berkata seperti itu.

Apa masih dalam syndrome Senioritas?
Yang Muda Dipandang Sebelah Mata?

I love who I am.. I live as lesbian.. I laugh at every mistake I’ve made..
And I learn for it..
I do not need critique for what I’ve done cuz I knew it’s a mistake…
But we do need positive input to add our knowledge.

Bukan begitu lebih baik?

12 comments:

chubby-gal said...

Saya rasa para senior itu gemas dengan caranya lembaga tersebut mengimplementasi kegiatan2nya. Saya rasa dengan diskusi itu seorang Ayu Utami, atau orang awam pun akan merasa sang narasumber berputar2 pembicaraannya, kurang tepat sasaran. Mungkin kalau ada diatara penulis buku itu menjadi narasumber, yang dibahas jadi lebih ke kontentnya, ketimbang misi pembuatan buku tersebut yang notabene kampanye. Andai approach dari kegiatan tersebut lebih tepat, saya rasa para senior pun tidak akan sejauh mengkritiknya.

Saran saya adalah mengadakan internal workshop untuk penulisan, benar2 dibedah bukunya, tulisannya di edit, kenapa bgini kenapa bgitum, berguna untuk peningkatan anak muda asuhan lembaga tersebut.

Sukses selalu!

Anonymous said...

Saya sangat kagum dengan cara berpikir anda. Ini menunjukkan kita masih membutuhkan profesional dan kaum terpelajar untuk membantu para lesbian seperti anda yang, maaf, sangat tidak intelek. Saya menduga anda amnesia, karena apa yang dikatakan oleh senior tersebut hanyalah pengulangan dari apa yang ayu utami katakan. Anda nggak ingat kata-kata b*bi yang ayu ucapkan atau gimana ayu tertidur di depan forum saat mendengar koordinator organisasi yang Anda bantukan berkampanye? Mungkin anda lupa, jadi komen saya bisa membantu anda menyegarkan ingatan itu. Terus terang belum pernah saya semalu ini menjadi lesbian. Dihina oleh ayu utami, terus membaca tulisan anda. Kalau anda suka dengan iklan rokok, ingat iklan rokok yang selalu ‘tanya kenapa’. Tanya kenapa ayu menghina kaum kita? Tanya kenapa ayu diundang sebagai narasumber dan membiarkan “sang maestro” ini mencoreng-moreng wajah kita? Anda tau jawabannya. Jangan wajah buruk, cermin yang dihancurkan. Mungkin kita seharusnya selalu kritis dan mulai berani melihat wajah kita di cermin: potret acak-acakan kaum lesbian.

JoChan said...
This comment has been removed by the author.
JoChan said...

@ bu donat :
makasih udah mampir & memberikan comment juga mengingatkan kembali kalo saya tidak intelek..

memank saya tidak intelek dan juga bodoh, makanya saya buat blog ini.. buat bahan pelajaran saya ;)

dari anda dan temen2 yg intelek yg mau mampir bisa memberikan pencerahan ke saya..

dan saya pun sangat setuju dengan saran2 dari ayu utami.. karena beliau memberikan kritik dan juga saran2nya.. :) itu yg lebih mantap kan..

bukan hanya kritik.. tapi tidak disertai saran2 ;) atau hanya bisa OMDO doank..

jadi thanks for the comment ;)

Anonymous said...

ngomongin senior kok jd inget masa2 OSPEK?pasal 1 :senior tidak pernah salah.pasal 2 :jika senior salah liat pasal 1.

saya gak bisa bikin buku apalg novel.makanya nge blog aja.hihihi

Keep writing JC!
viva senior!!!

Anonymous said...

Wah, baca posting ini saya mencoba mengingat2, apa ya maksud dari diskusi buku itu? Padahal sebelum diskusi dimulai, saya dan Kamel ber-e-mail ria dan dalam e-mail tersebut intinya Kamel sangat bersemangat dengan diskusi tersebut karena IPP memang berencana untuk mengeluarkan buku lagi. Karenanya bagi Kamel kritik sangat diperlukan.

Sebagai moderator diskusi, yang saya ingat adalah "kritik" baik dari rekan Editor Senior dan Ayu Utami sama tajamnya. Keduanya dalam mengkritisi juga memberikan saran. Walaupun tentu saja Ayu Utami punya lebih banyak kesempatan untuk menjelas-jelaskan karena dia narasumber, memang sewajarnya ruang dan waktu diberikan kepada dia.

JoChan, saya menyayangkan cara anda menyikapi hasil diskusi ini, yang suka tidak suka saya hanya dapat menyimpulkan bahwa anda tidak suka dikritik. Apa-apa yang anda katakan tentang bagaimana senior seharusnya bersikap, sudah melebar, tidak relevan, juga tidak fair sama maksud dan tujuan diskusi bahkan kritik itu sendiri. Karena akhirnya anda hanya mengutip sebagian dari ucapan mereka yang sebenarnya merupakan serangkaian penjelasan dari rangkaian diskusi yang berlangsung.

Kritik ya kritik saja. Fokus saja pada apa2 yang kita inginkan bersama dari hasil diskusi ini yang notebene: mengundang kritik. Masing-masing orang punya cara dan gaya penyampaiannya masing-masing. Tidak akan menghasilkan apa-apa jika kita berkutat disitu. Entah bagaimana cara penyampaiannya dan apa analogi yang dipilih, tidak penting lagi untuk dibahas. Yang penting adalah bagaimana kita mempergunakan kritik yang kita undang ini, untuk memperbaiki diri untuk memperbaiki produk yang dikritisi. Kalau memang tidak siap menghadapi kritik atau hanya ingin dikritik dengan cara dan gaya tertentu, mungkin bentuk diskusi terbuka semacam ini memang harusnya dijauhi.

Melihat semua ini, saya kemudian jadi khawatir berfikir bahwa "sindrom senioritas" ini justru bukan "penyakit para senior" tapi justru "penyakit para junior" yang paranoid kalau dikritik?

Kalau boleh saran, dan menurut pengalaman saya, kalau kita mau melakukan "sesuatu" jangan berharap dari orang lain. Lakukan apa-apa yang kita sendiri mampu lakukan. Jangan berharap sama senior atau juga sejawat. Pilihan kita untuk melakukan "sesuatu" bagi kehidupan lesbian itu pilihan personal. Kalau bagi anda kontribusi senior dan sejawat itu memang penting, ketimbang buang waktu dan menghabiskan energi untuk berharap atau membahas kritik yang dianggap tidak menyenangkan, bukankah lebih baik terus cari cara agar lesbian lain (baik senior atau sejawat) mau melakukannya atas inisiatifnya sendiri dan secara sukarela, kemudian menyumbang dengan cara-cara yang dipilihnya sendiri? Bukankah begitu lebih baik? Bagi saya ada satu hal penting dalam beraktivitas, terutama aktivitas yang idealis, dalam hal ini aktivisme lesbian...jika kita memperjuangkan lesbian karena alasan hak asasinya dilanggar, maka janganlah dalam beraktivisme kita justru melanggar apa-apa yang asasi dari kemanusiaan seseorang. Seperti misalnya hak untuk berpendapat. Jika tidak, maka kita justru melakukan apa2 yang kita ingin "lawan". Bukankah lalu itu namanya mencoba menyelesaikan persoalan dengan persoalan? Prinsip terpenting lainnya juga bahwa kita tidak hanya harus bersetuju untuk setuju, tapi juga bersetuju untuk tidak saling setuju dan menghormati perbedaan dalam bentuk apapun.

Saya pribadi harus mengakui dan merasakan apa yang rekan Chubby Gal bilang: ya inilah wajah lesbian indonesia. Saya rasa ini PR paling penting bagi setiap lesbian Indonesia: maukah kita mengakuinya dan kemudian mampukah kita mengatasinya? Jangan-jangan ini justru persoalan yang paling mendasar dan mendesak bagi para aktivis lesbian untuk diselesaikan, ketimbang buru-buru bikin kegiatan yang ujung-ujungnya hanya bikin kita sibuk berselisih paham?

Salam damai dan selamat Hari Raya Galungan dan Kuningan bagi yang merayakan,
Bonnie

Anonymous said...

Waaah...
Masa Ayu Utami tertidur di forum waktu diskusi??? Apa diskusinya segitu crispy kriuk2nya??
Atau Narasumbernya ngebosenin berat?? Kenapa bisa gitu??? kali2 aja Ayu abis begadang semaleman jadi ketiduran, karena didukung oleh suasana yang bikin ngantuk plus narasumber yang ngoceh bla bla ngebosenin?

JoChan said...

Wahh nga sangka.. rame banget blog gw.. dengan kehadiran tamu2 luaar biasa..yang sungguh disayangkan.. sampai2 ada temen2 yg nga berani ngasih "comment" karena takut dianggap nga bermutu...

Duh.. padahal semua bebas banget mau kasih comment apapun, mau bermutu ato tidak.. tidak ada dewan juri di sini.. semua hanya tulisan, kalo sudah takut sama tulisan doank.. gimana di luar sana?

Blog ini adalah bentuk kebebasan berpendapat/ beropini, opini2 tergila.. dari otak jail saya.. :D
Dan semua comment yang masuk tanpa di moderate.

Ada blog yg comment di moderate? Kalo saya melihat fungsi moderate comment untuk menfilter comment2 yg masuk. Ngapain cape2 nulis opini kalo comment aja di moderate?

Jadi di tunggu terus masukan kritik2 dan saran2 dari SENIOR2…

Apakah Senioritas = kriTikus?
Hanya anda yg tau ;)

Dewa said...

Hahaha... inilah JC yg gw kenal! JC yg kalo iseng, jahil n dablegnya dah kambuh. Amit 3 dah, seberapapun kerasnya lemparan bakiak yg melayang di kepala, gak bakalan cukup bikin die berubah mendadak jadi “dangdut”. Jangankan bakiak yg bertaburan di rumahnya ndiri, bakiak yg ngampar di rumah orang aja hobi banget dia embat. Konon katanya, lumayan buat modal bikin racikan BOM yang daya ledaknya lebih dahsyat dari BOM yang die lempar sebelumnya. (Eh, jangan2 lo emang cs nya Amrozi dkk yg lagi nyamar jadi kolektor bakiak ya, JC? *Pssst... kalo dah jadi juragan bakiak, jangan lupa ma tetangge yee...)

"Rumahmu adalah Istanamu. Sampoerna Ijo pokoknya mah lah buat JoChan."

Peace n Love,
Jupie (Senior omez yg lagi hobi nyampah di rumah tetangga. Biarpun katanya biangnya omez tapi kalo ngitungnya dari uban yg tumbuh duluan di kepala, gw masuk senior lo juga, lho! Maksaaaa...)

Anonymous said...

senior dan junior udah kuno.

yg penting semua berfokus sama tujuan akhir.

klu mslh proses ada gradak-gruduk dikit, itu wajar2 aja.

untuk pendewasaan diri.

sukses.

@Aku.

Cosmic Soulmate said...

Sy emang ga hdr di acara tsb, tp membaca blog ini&weblog lesbian+komentar2nya, sy selaku slh satu penulis cerpen dlm buku tsb (yg notabene TIDAK pakai nama samaran spt yg diulas), miris.

Penulis, penerbit, jochan&para kriTIKUS, sy yakin punya niatan awal yg baik&tendensi positif dlm pemikirannya masing2.

Taruhlah MUNGKIN TUJUAN penerbit terlalu MULIA,
Taruhlah MUNGKIN karya2 kami ga level,
Taruhlah MUNGKIN para kriTIKUS yg tlh lbh banyak pengalaman itu merasa tercoreng,
Taruhlah MUNGKIN komentar JoChan ga intelek,
Serta keMUNGKINan2 lain yg ga bisa sy jabarkan satu persatu, yah inilah kita...MANUSIA! Tak sempurna, krnnya bth manusia2 lain utk bisa slg melengkapi, bknnya slg menghujat, mencerca&slg menjatuhkan diantara kita, khususnya lesbian itu sendiri.

Jadikan kekurangan kita msng2 sbg bahan pembelajaran utk bisa menghasilkan karya2 yg lbh baik lg. Yg terpenting adlh niatan awal&tujuan akhir, kemajuan dunia lesbian.

Go JoChan, Go IPP, with continuing learn hope we can break all the impossible! Chayoo...

Just a Comment,
Al

JoChan said...

buat AL..

Jangan menyerah yah ;)
dari semua kritik yg pedes kayak sambal rujak pake 10 cabe...
pasti ada cela yg manis ;)
so.. diambil yg membangun.. yg lain? ke laut aja deh..

semangat nulis terus yah AL.. ;)
CHAAAYOOO!!!!