Sunday, August 10, 2008

Ratih Kumala?? Nga banget deh..

Mengutip dari www.sepocikopi.blogspot.com - http://sepocikopi.blogspot.com/2008/08/rekonstruksi-penerimaan-homoseksualitas.html

"Penulis Ratih Kumala mengatakan novel Gerhana Kembar yang ditulis oleh
Clara Ng merupakan salah satu karya yang dapat mewujudkan harapan
tersebut karena memotret tokoh-tokoh heteroseksual yang akomodatif
terhadap kaum gay dan lesbian.

Dalam novel ini Clara hanya bercerita tanpa pretensi dalam frame
penerimaan. Ini jauh berbeda dengan novelnya Herlinatiens yang berjudul
Garis Tepi Seorang Lesbian,” Ratih berkata dalam diskusi buku Gerhana
Kembar yang mengangkat tema Perempuan, Seksualitas, dan Media di Goethe
Institute, Jakarta Pusat, Jumat 8 Agustus 2008 sebagai bagian dalam
rangkaian acara Q! Film Festival ketujuh.

Ia lebih lanjut menilai bahwa Herlina dalam novelnya lebih
“meledak-ledak” karena mengeksploitasi kemarahan seorang lesbian yang
membutuhkan pengakuan di tengah-tengah kerasnya tentangan masyarakat
terhadap kaum homoseksual.

Gerhana Kembar sendiri, diterbitkan awal tahun ini oleh Gramedia Pustaka
Utama, bercerita tentang seorang perempuan heteroseksual bernama Lendy,
yang menemukan bahwa neneknya Fola adalah seorang lesbian."

Sangat disayangkan dalam Bedah Buku Gerhana Kembar yang diadakan oleh Q FIlm Festival 2008, pada jumat tgl 08.08.08... seorang RATIH KUMALA sebagai penulis Tabula Rasa masih saja membanding2kan novel karya orang lain.

Mungkin gw bukan seorang penulis ataupun yang mendalami sastra.
Tapi apakah hal membanding2kan karya orang lain adalah kode etik dalam pembahasan bedah buku?

Mungkin karya Herlina tidak sebesar karya gerhana kembar..
tidak dieditor oleh editor2 kenamaan dan tidak dipublikasi oleh pihak gramedia.
Tapi apakah seorang RATIH KUMALA berhak membanding2kan novel karya herlina dengan kesan menjatuhkan didepan publik?

Well i dont know for sure..
tapi as far as I know..
semua novelis punya gaya sendiri2..

Tapi kenapa nga seorang RATIH KUMALA membandingkan tulisannya sendiri atau tulisan Albertien Endah??

Apakah herlina dianggap seorang lesbian yg masih meledak2 dan menceritakan dengan gamblangnya kehidupannya yang memang dihadapi atau tidak didalam novelnya? Itu adalah hak herlina sebagai penulis.. [ralat.. pembetulan.. mestinya "dianggap" sebelum text seorang lesbian ]

dan apakah Clara NG bisa kita anggap seorang lesbian? karena menuliskan cerita2 lesbian? Kembali lagi gw rasa itu haknya sebagai penulis...

dan apakah Albertine Endah mau "mengaku" telah mengeksploitasi kaum lesbian dalam karyanya "Jangan beri aku narkoba?" Kalo dia menulis narkoba dan hetero.. mungkin udah jadi hal yg umum.. Makanya dia mengeksploitasi kaum lesbian biar ada warna??

Yah gw cukup senyum aja sih...
karena gw sempet tertawa dalam hati and kurang respect sama Ratih Kumala...
apakah dia mau dibanding2kan dengan karya orang lain?? Misalnya AE ngebandingin tulisan dia dengan Clara didepan publik gitu?? Mau nga??

hehehehehe..

10 comments:

Anonymous said...

ikutan komentar dunk,,,
gw jg menghadiri acara itu, tp ga sedikitpun ngerasa statemen Ratih Kumala menjatuhkan Herlina Tiens ;) Ratih Kumala tidak membandingkan kualitas Herlina dan Clara (secara personal), jg tidak membandingkan kualitas novelnya, hanya membandingkan sisi mana yang diangkat oleh penulis.

gw sebagai pembaca novel Herlina tersebut juga sependapat bahwa Herlina mengangkat sisi perasaan emosional lesbian yang "meledak-ledak". Meledak-ledak disini bukan hanya dalam konteks negatif, tapi meledaknya emosi suram, marah, rindu, cinta, dll. Sedang Clara mengangkat perasaan lesbian lebih "soft".
Gw rasa nggak ada yang salah dengan keduanya.

Lebih lanjut silakan berdiskusi dengan penulisnya di : http://herlinatiens.wordpress.com/
http://clara-ng.blogdrive.com

FYI, "membandingkan" suatu karya dengan yang lain menurut gw hal yg lumrah gw temui dalam diskusi buku. Penulis sangat tau ketika karya mereka sudah berada di tangan publik penilaian atau komentar adalah hak mutlak pembaca, dan terlalu bodoh bila penulis merasa kebakaran jenggot bila karyanya dibandingkan dengan yang lain.

Apakah herlina seorang lesbian dianggap yg masih meledak2 dan menceritakan dengan gamblangnya kehidupannya yang memang dihadapi atau tidak didalam novelnya?

Ups! apa betul Herlina seorang Lesbian?? Gw kok nggak pernah dengar?!
IMHO, kita ga berhak menilai preferensi seksual seorang penulis berdasarkan apa yang ditulisnya.

Sayang sekali kalau sdri JOCHAN jadi kurang respect pada seseorang untuk sebuah sebuah statemen yang sangat wajar hanya karena kurang paham terhadap konteks yang disampaikan dan budaya kepenulisan.

Silakan berdiskusi dengan Ratih Kumala di http://ratihkumala.com/ agar kenal dan paham. Sebab, tak kenal maka tak sayang ;)

Regards
Yayan

thanks buat JOCHAN kalau mau menayangkan opini gw.

Anonymous said...

Dalam ranah diskusi sastra membandingkan karya dua penulis berbeda adalah hal yang lazim. Itu adalah cara intelek dan metode studi yang klasik untuk membandingkan buku yg dibahas dengan buku yang dianggap bisa jadi bandingan.

Dalam harian Kompas, Katrin Bandel pernah membahas novel2 Ayu Utami dan dalam satu bagian kemudian membandingkannya dengan novel Clara Ng. Katrin Bandel sendiri adalah Doktor dalam Sastra Indonesia di Universitas Hamburg, Jerman; Pengajar Kajian Gender di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Beliau pernah menerbitkan beberapa kumpulan tulisan. Tulisan Katrin Bandel tentang pembahasan karya Ayu Utami ini bisa dibaca di:

http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0506/01/Bentara/1781787.htm

Jika kamu menyimak Ratih Kumala, kamu juga akan bisa mengetahui bahwa ketiadaan ledakan emosi dalam Gerhana Kembar bisa jadi kekuatan dan kelemahan novel itu. Saya tidak merasa Ratih Kumala menjatuhkan Herlinatiens di depan publik. Karena bisa jadi, emosi itulah
yang jadi kekuatan buku Garis Tepi Seorang Lesbian, sebagaimana
bisa menjadi kekurangannya.

Saya khawatir statement kamu malah menciptakan semacam "state of
fear" bagi penulis kita. Jika menulis novel bertema lesbian, maka sangat mudah untuk dituduh menjadi lesbian atau dianggap mengeksploitasi kaum LGBT. Padahal begitu banyak hal yang bisa digali dari isu lesbian dan bisa ditulis dengan ribuan cara oleh penulis kita.

Dan saya setuju sekali dengan komentar Yayan: “Sayang sekali kalau sdri JOCHAN jadi kurang respect pada seseorang untuk sebuah sebuah statemen yang sangat wajar hanya karena kurang paham terhadap konteks yang disampaikan dan budaya kepenulisan."

JoChan said...

@Yayan & Alex :
thanks for the comment,
maklum saya bukan penulis, bukan pula seorang pengamat sastra/novel/dll..

Hal ini sangat menambah wacana pembelajaran buat saya.

Dan soal statement saya.."Who the hell I am?" Gw bukan kritikus, gw bukan pengamat, gw juga bukan orang penting... Hanya orang awam. Nga penting gitu loh..orang memperhatikan statement gw..hohoho..

Gw pikir its like a fear factor challenge buat para calon penulis or penulis. Hanya bagaimana para penulis mensiatinya the fear factor tsb.

Its part of the reality rite? Kenapa malu untuk diungkapkan?
Dream for the big thing, prepare for the worse thing.. :D
[itu sih dari gw.. hohohoho]

Thanks again for stopping by and give the comment. ;)
I learn :)

Anonymous said...

Jochan salam kenal.

Saya mengenal Ratih Kumala secara pribadi dan sangat disayangkan jika Anda merasa tidak respek kepada beliau karena presentasi beliau dalam Q! Film Festival tanggal 8 Agustus 2008. Presentasi Ratih Kumala sesuai dengan kaidah dan budaya diskusi sastra yang selama ini telah berjalan di setiap ruang baca. Studi banding terhadap dua (atau lebih) karya sastra adalah metodologi, kajian, dan sistematika pengetahuan yang dilakukan dalam penelitian sastra mana pun. Analisis dan pendekatan secara intrinsik dan ekstrinsik untuk mendapatkan pemahaman yang menyeluruh pada aspek-aspek yang ada dalam karya sastra, dari dalam tubuhnya sendiri maupun di luar karya tak bisa terlepas dalam diskusi dan ruang lingkup penelitian, termasuk kritik dan polemik sastra.

Inti dari presentasi Ratih Kumala adalah bukan menjatuhkan karya Garis Tepi Seorang Lesbian, tapi beliau justru menganggapnya sejajar dengan karya saya sehingga dua karya sastra itu menjadi bahan studi yang menarik untuk dipelajari oleh para lesbian atau feminis (terpelajar).

Di dalam keadaan budaya yang demikian patriarkis dan heteronormatif, sebagian besar karya sastra Indonesia yang ada ditulis dalam sudut pandang dan stereotipe heteronormatif. Beberapa penulis (perempuan, heteroseksual) meramaikan kesusastraan lesbian, dan kehadiran mereka tidak lepas dari gencarnya gerakan feminis (atau perempuan) yang dilaksanakan dan ramai dibicarakan di seluruh dunia. Oleh karena itu, para penulis berusaha menjadikan lesbianisme sebagai bahan studi sastra.

Mengacu pada Aristoteles, sastra dipandang sebagai “menyampaikan jenis pengetahuan yang tidak bisa disampaikan dengan cara lain”, sementara menurut Danzinger dan Johnson, sastra adalah “seni bahasa” yaitu cabang seni yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya.

Dari dua hal yang saya sebut di atas, maka sangat jelas, bahwa penulis sastra lesbian harusnya lepas dari asumsi-asumsi pribadi yang berhubungan dengan kehidupannya, seperti apakah penulis yang bersangkutan adalah seorang lesbian atau mencari sensasi (mengeksploitasi) dalam mencari keuntungan. Wacana apresiasi dan penelitian terhadap karya sastra lesbian seharusnya ditingkatkan pada aspek sastranya yang estetik serta tafsiran maupun pemahaman lesbianismenya yang disampaikan melalui gambaran tokoh perempuan di dalamnya, sebagai perpanjangan tangan perjuangan kaum marginal atau yang terkait di dalamnya, yaitu gagasan feminisme. Terlebih lagi, melalui sastra lesbian, para penulis menaikkan suatu kedudukan dan pengakuan bagi perempuan lesbian di masyarakat, karena biasanya, hanya tokoh heteroseksual saja yang mendapat pengakuan dan kedudukan penting dari kritik sastra.

Demikian penjelasan saya. Sebenarnya masih banyak sekali makna maupun rumusan yang tersirat yang ingin saya sampaikan setelah membaca statement Anda, tapi ruang yang saya miliki terbatas. Semoga Anda menilai gagasan saya di sini bukanlah suatu bentuk solidaritas sesama penulis (dalam hal ini untuk Ratih Kumala, sahabat dan rekan penulis) tapi mengacu kepada penjelasan gamblang tentang bagaimana sistematika kerja wacana dan apresiasi sastra dalam mencapai kemaknawiannya.

Terima kasih atas perhatian dan penghormatannya terhadap komentar saya.

Salam,
Clara Ng

JoChan said...

@Ms.Clara Ng :

Wah.. sempet saya gedubrak jatuh dari kursi.. begitu melihat comment dari anda..

Gedubrak, alias sempet kaget, terkejut juga seneng.. karena blog saya yg jauh dari nilai pantas, blog yg berisi opini2 pribadi saya dengan tulisan2 sekedarnya.. jauh dari struktur penulisan yg baik dan benar..

Tapi dapat mengundang seorang Clara Ng untuk memberikan comment..

Padahal seingat saya, Ms. Clara Ng berkata tidak sempat membalas email2 dari fans2nya yg berjumlah ratusan bahkan mungkin ribuan email..

Dan pada pagi mendung ini, beliau sempat memberikan comment di blog ini.. sungguh saya sangat gedubrak..

Makasih yah atas masukannya..
kembali lagi.. today i learn ;)

si buluk said...

walah, ada miss clara juga

hehehe

Anonymous said...

;)

Sdr. JoChan sudah tepat menerapkan teknik komunikasi yang paling maknyos dengan menurunkan tulisan yang kontroversial.

Pernah dengar pepatah : "kalau ingin terkenal, kencingilah sumur zam-zam”.
Tau kan maksudnya ;) ?
http://www.edo.web.id/wp/2008/03/28/teknik-komunikasi/

kalau Gw sih lebih setuju komentar tokoh IT tsb “males ah. ngapain juga gw kudu ngeladenin. ngabisin energi. ngga level”.

Piss!!!!
Gw salut sama Ms. Clara yang mau mampir. Tapi seperti yang dia sampaikan, jangan-jangan cuma staff atau editornya yang mampir. :P

ya2n

JoChan said...

@ yayan..
jadi terkenal dengan kiasan "kalau ingin terkenal, kencingilah sumur zam-zam”.
koq kayaknya nga banget yah :D?

Opini yg saya buat hanya sekedar opini saya yg bodoh. tapi kalo opini2 bodoh ini bisa menarik pembaca.. yah karena mereka lebih pintar ;)

seperti judul blog saya..
love live laugh and learn. ;)

**lirik2.. pipis di air zam-zam ahh..**

Anonymous said...

Salam kenal Jochan...
Awalnya saya sekedar iseng ketik q-ffest untuk membaca ulasan-ulasan menariknya guna pembelajaran saya untuk mementaskan GTSL di Q-ffest Surabaya besok. Lalu sampailah saya di sini. Saya baca, semua tulisan di sini, kecuali yang judulnya ada kapal-kapal gitu lho. Saya lupa ^^'

Jo yang baik, sebenarnya membandingkan dua karya sastra atau lebih itu memang sah dilakukan oleh seorang kritikus. Jadi saya yakin, mbak Ratih Kumala tidak bermaksud untuk menjatuhkan saya. Kalaupun karya saya yang dianggap tidak lebih layak dibandingkan karya lain *ini misalkan* nah, itu pasti juga sebuah kejujuran dari seorang kritikus untuk menyayangi saya, sbg penulis. Begitulah cara kritikus menyampaikan kasihnya :D

Tapi saya mengucapkan terimakasih sekali ini, untuk ulasan acara q-ffestnya. Semoga q-ffest2 tahun depan semakin sukses.

salam sayang
herlinatiens

JoChan said...

@ herlinatiens :

makasih yah mbak sudi mampir & membaca artikel dan opini2 saya di sini..

seperti yg saya tulis di comment2 sebelumnya.. i learned..

jadi saya udah tau koq.. kira2 begitu deh dunia sastra and kritik2an sesama penulis..

jadi pengen terus ikutan bedah2 buku lainnya..

thanks ya mbak..
di tunggu novel2 lainnya mbak :D